14 September 2022 In Berita

Penulis: Asmawi, Muhammad Thaufan A

ISBN: 

Bahasa: Indonesia

Cetakan: Pertama, 2022

Jumlah Halaman: 176 halaman

Ukuran Buku: 15,5 cm x 23 cm

 

Sinopsis :

Istilah atau kata “profesi” biasanya dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan tertentu, meskipun tidak setiap pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi, karena sebuah profesi menuntut keahlian tertentu para pemegang profesi itu. Keahlian yang didapatkan oleh pemegang profesi lazim diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan tertentu, yang memang telah dipersiapkan untuk menduduki profesi tertentu pula. Pemegang profesi yang dapat menunjukan dan mewujudkan penampilan sesuai dengan profesinya disebut profesional atau pemegang profesi yang profesional. Sebaliknya, mereka yang tidak dapat menunjukkan tampilan sesuai dengan tuntutan profesinya lazim disebut tidak profesional. Para pemangku profesi atau petugas yang senantiasa selalu berusaha untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas yang profesional, lazim pula diberi label sebagai petugas yang memiliki semangat atau jiwa profesionalisme.

Persoalan keprofesionalan para pemangku sebuah profesi memang sering menjadi bahan pembicaraan dan bahan diskusi, baik di masyarakat umum maupun di lembaga-lembaga ilmiah. Buku berupa tulisan singkat ini, yang berisikan beberapa ide dan gagasan tentang komunikasi penyuluhan diharapkan dapat menggugah dan mendorong munculnya profesionalisme penyuluh, sehingga kelak terwujud penyuluh-penyuluh yang profesional.

02 September 2022 In Berita

Penulis: Kurnia Warman, Yuliandri, Eri Gas Eka Putra, Indraddin, Beni Kurnia Illahi, Deni Saputra, Eri Stiyanto, Titik Septriana, Dian Kurnianti

ISBN: 978-623-172-000-9

Bahasa: Indonesia

Cetakan: Pertama, 2022

Jumlah Halaman: 108 halaman

Ukuran Buku: 15,5 cm x 23 cm

 

Sinopsis :

Pelibatan public dalam pengelolaan hutan merupakan sebuah keniscayaan yang mesti dipertanggungjawabkan oleh negara melalui kebijakannya. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa alasan, Pertama, di dalam dan sekitar kawasan hutan ada ±32.447.851 jiwa, jumlah desa di dalam hutan ±2.037 desa dan di sekitar hutan ±19.247 desa (BPS, 2021). Kedua, sebagian besar masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Ketiga, sebagian besar luas wilayah Indonesia (63,04%) berupa hutan dengan jumlah penduduk yang terus bertambah. Ekspansi lahan pertanian yang paling mudah dan murah adalah masuk ke dalam kawasan hutan. Melalui penelitian yang disarikan dalam bentuk Buku Desk Study ini, Penulis mengurai bagaimana masing-masing skema Perhutanan Sosial (HKm, HD, Kemitraan, HA, dan HTR) berproses untuk mewujudkan tujuan pengelolaan hutan (masyarakat sejahtera dan hutan terjaga).

Sebab, tidak dapat dipungkiri, setiap skema mempunyai tantangan dan hambatan, tetapi dengan semangat bersama membangun Perhutanan Sosial dengan kolaborasi sistem Masyarakat Hukum Adat, tentu saja Peneliti memiliki catatan kritis sebagai rekomendasi perbaikan pengelolaan hutan desa atau sebetun lain di seluruh bentangan wilayah Indonesia. Salah satu daerah di Indonesia yang masih kental hukum adatnya adalah Sumatera Barat. Demi terpenuhinya hak-hak Masyarakat Hukum Adat Sumatera Barat terhadap hak ulayat berupa hutan, terdapat skema perhutan sosial yang memungkinkan terakomodirnya pemenuhan hak tradisional masyarakat adat tanpa menghilangkan dasar kepemilikan hutan oleh Masyarakat Hukum Adat. Skema Perhutatan Sosial ini tampaknya sudah menjadi suatu terobosan gagasan yang dinilai progresif dan akomodatif bagi masyarakat yang senantiasa dipopulerkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dalam merumuskan kebijakan kehutanan yang berbasis pada masyarakat hukum adat, dalam konteks masyarakat Minangkabau identik dengan sebutan ‘Nagari’.

Sejatinya nagari-nagari di Sumatera Barat telah lebih dahulu mengelola hutan di wilayah adat mereka. Masyarakat Hukum Adat Minangkabau mengelola hutan nagari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengelolaan dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku didaerah masing-masing yang dikenal dengan istilah adat salingka nagari. Pengelolaan hutan nagari berdasarkan kearifan lokal Masyarakat Hukum Adat Minangkabau tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga melestarikan hutan. Hasil dari pengelolaan hutan nagari ini kemudian berkembang menjadi komoditas unggulan yang bernilai jual ekonomi tinggi di Indonesia bahkan tidak mungkin di industri ekonomi internasional.  Pengelolaan hutan nagari melalui skema perhutanan sosial membantu Masyarakat Hukum Adat mendapatkan hak ulayat mereka dan mengelola hutan mereka dengan kearifan lokal demi pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup. Salah satu Nagari percontohan yang dapat diterapkan hutan nagari berbasis masyarakat Hukum Adat adalah Nagari PasieLaweh, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Tentusaja, prinsip Good Governance yang ada di Nagari Pasie Laweh dan 5 nagari lainnya membawa harapan penyelenggaran pengelolaan hutan nagari berbasis Masyarakat Hukum Adat membantu memenuhi hak-hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat sekaligus sejalan dengan program pemerintah. Hutan Nagari di Pasia Laweh mampu membuktikan pengembalian akses masyarakat hokum adat terhadap hutan adatnya yang di klaim oleh negara sebagai kawasan hutan. Di samping Nagari Pasie Laweh Kabupaten Agam, nagari lain yang juga tak kalah menariknya dan berada dalam Kawasan hutan adalah Nagari Sungai Buluah Kabupaten Padang Pariaman, Nagari Tanjuang Bonai Kabupaten Tanah Datar, Nagari Sungai Batang Kabupaten Agam, Nagari Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat dan Nagari Sungai Nyalo Mudiak Aia Kabupaten Pesisir Selatan. Masing-masing nagari tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam pengelolaan dan pemanfataan hutan di nagari melalui skema perhutanan social ini.

25 Februari 2022 In Berita

Penulis: Jendrius, Zuldesni, Indraddin, Maihasni

ISBN: 978-623-6234-52-5

Bahasa: Indonesia

Cetakan: Pertama, 2021

Jumlah Halaman: 283 halaman

Ukuran Buku: 15,5 cm x 23 cm

 

Sinopsis :

Buku Bibliografi Skripsi Jurusan Sosiologi mencoba menampilkan karya penelitian mahasisswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, yang terwujud dalam naskah skripsi mahasiswa yang telah dibimbing dosen. Karya tersebut merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosiologi di jurusan sosiologi, sehingga layak menjadi sumber informasi berbagai bidang kajian dalam ilmu sosiologi. Buku ini memberikan informasi tentang hasil penelitian berbagai bidang kajian dalam disiplin ilmu sosiologi. Bidang kajian yang berhubungan dengan kompetensi lulusan sosiologi di FISIP Unand antara lain ; Sosiologi Agama, Sosiologi Ekonomi, Sosiologi Gender, Sosiologi Hukum, Sosiologi Industri, Sosiologi Kebudayaan, Sosiologi Keluarga, Sosiologi Kemiskinan, Sosiologi Kesehatan, Sosiologi Komunikasi, Sosiologi Konflik, Sosiologi Pedesaan, Analisis Dampak Lingkungan, Sosiologi Pembangunan, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi Pemberdayaan, Sosiologi Perkotaan, Sosiologi Politik, Sosiologi Perilaku Menyimpang, Sosiologi Sektor Informal, dan beberapa kajian sosial lainnya. Buku ini dapat dijadikan pedoman bagi praktisi sosial atau peneliti untuk membaca hasil penelitian tersebut, baik yang telah dipublish, maupun yang dikoleksi di ruang baca laboratorium Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas.

 

25 Februari 2022 In Berita

Penulis: Afrizal, Elfitra, Zuldesni

ISBN: 978-623-6234-42-6

Bahasa: Indonesia

Cetakan: Pertama, 2021

Jumlah Halaman: 66 halaman

Ukuran Buku: 15,5 cm x 23 cm

 

Sinopsis :

Buku ini berisikan paduan penggunaan mekanisme resolusi konflik RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk NGO. RSPO membuat mekanisme resolusi konflik untuk menyelesaikan konflik antara warga terdampak ekspansi sawit dan buruh dengan perusahaan anggota RSPO. Konflik yang dapat diselesaikan oleh RSPO mencakup konflik tanah, buruh, dan lingkungan. Panduan dibuat berdasarkan penelitian di empat provinsi (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Ria, dan Sumatera Barat) tentang pengalaman NGO berhasil dan gagal menggunakan mekanisme resolusi konflik RSPO untuk menyelesaikan konflik antara warga terdampak ekspansi sawit dengan perusahaan anggota RSPO. Pengalaman NGO-NGO yang diteliti dipandang sebagai ujicoba NGO menggunakan mekanisme RSPO.      Kami berpendirian mekanisme resolusi konflik RSPO sebagai alternatif mekanisme resolusi konflik yang tersedia. Sampai pertengahan tahun 2021, mekanisme resolusi konflik RSPO digunakan oleh sedikit warga desa dan NGO di Indonesia. Dari beberapa kasus yang menggunakan mekanisme resolusi konflik RSPO,  hanya sangat sedikit (tiga kasus) pengaduan warga yang berhasil diselesaikan. Kami mengaitkan temuan ini dengan kompleksitas prosedur RSPO dan keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam membantu masyarakat untuk menggunakan sistem pengaduan RSPO sebagai faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut. Diharapkan, panduan ini memampukan NGO mendampingi warga desa menggunakan secara tepat mekanisme RSPO, dan berkontribusi terhadap peningkatan efektivitas sistem pengaduan RSPO.

Halaman 2 dari 4